Angka Siswa Putus Sekolah Meningkat, Jepang Luncurkan Kelas Belajar di Metaverse!

Updated
January 3, 2023
Gambar Angka Siswa Putus Sekolah Meningkat, Jepang Luncurkan Kelas Belajar di Metaverse!

Dilansir JapanTimes, per 2 Januari 2023, sistem pendukung pendidikan baru yang menggunakan Metaverse untuk membantu anak-anak yang menolak pergi ke sekolah tengah menarik perhatian di Jepang.

Selama dua tahun terakhir, di mana hampir seluruh dunia mengalami gelombang COVID-19, bentuk pendidikan e-learning mendapatkan daya tarik yang lebih besar karena banyak lembaga pendidikan yang menggunakan platform seperti Zoom untuk mengadakan kelas secara online. Meski begitu, tak sedikit siswa yang memilih bolos karena berbagai faktor, seperti lingkungan rumah yang tidak mendukung, dan lain sebagainya.

Masalah banyaknya siswa yang bolos ini diharapkan menjadi bidang kebijakan utama badan pemerintah baru untuk mengelola urusan anak dan keluarga. Karena fenoma ini juga, pemerintah Jepang sedang mempertimbangkan banyak langkah untuk membantu anak-anak yang bolos sekolah, termasuk mereka yang bolos meskipun melakukan kelas online.

Katariba Luncurkan Kelas Belajar di Metaverse

Kini, dengan adopsi teknologi Metaverse yang cepat dan meluas, platform e-learning banyak yang memanfaatkan teknologi Web3 untuk menawarkan kelas yang imersif. Bergabung dengan kemajuan teknologi Web3, Japanese non-profit organisation (NPO), Katariba, telah meluncurkan “Room-K”, sebuah platform pendidikan berbasis Metaverse.

Dilansir NFTGators, salah satu petinggi Katariba mengatakan bahwa Room-K dibentuk sebagai sebuah pilihan alternatif bagi para siswa yang menolak bersekolah untuk melanjutkan studi mereka. Selain itu, Room-K bertujuan untuk membantu anak-anak menciptakan hubungan kepercayaan dengan pengajar, mendapatkan rasa memiliki, memperoleh keterampilan sosial, dan berkonsentrasi pada pelajaran.

Baca juga: Fukuoka Gandeng Astar Japan Labs, Berencana Untuk Jadi Web3 Hub di Jepang

Lebih dari 110 Siswa SD Ikut Berpartisipasi dalam Room-K

Lebih dari 110 Siswa SD Ikut Berpartisipasi dalam Room-K
Sumber: Freepik

Selain bisa diikuti dari rumah, dalam Room-K, siswa dapat memilih apa yang ingin mereka pelajari dan memilih waktu yang tepat untuk mereka belajar lewat layar mereka. Program Room-K secara menyeluruh menetapkan 45 menit untuk setiap sesi belajar, termasuk bahasa Jepang, pemrograman, dan membaca dengan siswa lain. Menariknya lagi, anggota Room-K dapat memilih avatar seperti superhero dan princess, yang bisa bergerak bebas di ruang angkasa. Dengan mendekati avatar lain, para anggora dapat berbicara dengan anggota lain melalui panggilan video. Fitur ini memungkinkan siswa untuk merasakan jam istirahat seperti di sekolah pada umumnya.

Hampir 10% Siswa yang Masuk Room-K Datang Kembali ke Sekolah

Pada awalnya, proyek Room-K dimulai setelah siswa-siswa kehilangan kesempatan untuk pergi ke sekolah dan menumbuhkan rasa memiliki tempat belajar karena penutupan sekolah di tengah wabah Coronavirus. Namun kini, dilaporkan oleh JapanTimes, hampir 10% siswa yang berpartisipasi di Room-K telah melanjutkan sekolah fiskal tahun ini. Meski begitu, memungkinkan anak-anak untuk kembali ke sekolah bukanlah satu-satunya tujuan Room-K.

Terkait peningkatan ini, Tomotakan Segawa, salah satu pendiri Katariba mengatakan,

“Tujuan kami adalah untuk menciptakan tempat di mana anak-anak dapat belajar. Kami ingin meningkatkan opsi bagi pemerintah kota yang ingin mendukung anak-anak yang tidak bisa hadir ke sekolah secara langsung.”

Di kota Toda, Saitama, sebelah utara Tokyo, beberapa kepala sekolah sedang mempertimbangkan untuk berpartisipasi Room-K sebagai platform kehadiran di sekolahnya. Menurut Kementerian Pendidikan Jepang, jumlah anak yang tidak bersekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama secara nasional meningkat mencapai rekor tertinggi 244.940 pada Maret 2022. Sebagai upaya membantu siswa yang putus sekolah, pusat dukungan pendidikan sudah banyak didirikan di beberapa kota. Meski begitu, nyatanya pusat-pusat semacam itu seringkali gagal menarik anak-anak yang tinggal jauh dari fasilitas setempat.

Melihat fenome ini, Segawa dari Katariba berpendapat, “Lebih banyak anak akan terselamatkan jika koneksi online diubah menjadi kesempatan untuk mendukung mereka.”


Referensi:

Bagikan

Berita Terbaru

Lihat Semua Berita ->