Adopsi mata uang kripto yang terus meluas salah satunya didorong oleh kebutuhan akan uang yang dapat ditransfer ke mana saja dengan cepat dan efisien. Oleh karenanya, penggunaan Bitcoin berkembang pesat di negara-negara dengan tingkat remitansi yang tinggi seperti El Salvador.
Dengan semakin meningkatnya adopsi mata uang kripto, banyak negara termasuk Indonesia, mulai menjajaki pengembangan mata uang digital yang dapat diregulasi atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Hal ini didasari oleh beberapa kelemahan yang dimiliki oleh mata uang kripto, seperti volatilitasnya yang ekstrim, yang menjadikannya sulit untuk dijadikan alat pembayaran sehari-hari.
Lalu, apa itu Central Bank Digital Currency (CBDC) dan apa perbedaannya dengan mata uang kripto? Simak penjelasannya lebih lanjut di artikel ini.
Central Bank Digital Currency atau CBDC adalah versi digital dari mata uang resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. CBDC diterbitkan dan diatur oleh otoritas moneter atau bank sentral dari suatu negara. CBDC mirip dengan cryptocurrency dan beroperasi menggunakan digital ledger (bisa blockchain, bisa tidak), untuk mempercepat dan meningkatkan keamanan proses transaksi digital.
💡 Salah satu perbedaan CBDC dan cryptocurrency terletak pada tidak adanya pseudonimitas (pseudonimity) dalam penggunaan CBDC, seperti pada cryptocurrency. Selain itu, seperti halnya uang kertas yang dikeluarkan pemerintah, nilai CBDC tergantung pada kebijakan pemerintah yang mengeluarkannya, dan begitu pula dengan jumlah pasokannya.
Saat ini uang fisik adalah satu-satunya jenis uang bank sentral yang tersedia untuk masyarakat umum. CBDC akan memungkinkan masyarakat umum untuk melakukan pembayaran digital, namun dengan lebih cepat dan aman, yang merupakan kelebihan dari teknologi crypto.
Hal pertama yang perlu diingat tentang CBDC adalah bahwa CBDC bukan cryptocurrency. Mata uang digital ini sepenuhnya diatur oleh otoritas pusat atau pemerintah, berbeda dengan cryptocurrency yang terdesentralisasi. Seperti yang kita ketahui, kepemilikan dan otoritas dari crypto dapat sepenuhnya berada di tangan penggunanya, lain halnya dengan CBDC.
CBDC berperan sebagai versi digital dari uang fiat seperti rupiah atau dolar Amerika Serikat. Jadi, detail pribadi kamu (nama asli) berikut transaksinya akan dilampirkan ke aset CBDC yang kamu miliki, dan dapat dilihat oleh pengirim, penerima, dan bank.
Hal ini yang menjadikan CBDC berbeda dengan crypto. Seperti yang kita ketahui, detail transaksi crypto tersedia untuk publik, namun tanpa memperlihatkan data pribadi seperti nama asli dari pengguna. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah beberapa perbedaan lainnya antara CBDC dengan crypto.
Crypto | CBDC |
Bersifat pseudonim (nama asli dan detil pribadi tidak diketahui) | Tidak bersifat pseudonim (nama asli dan detil pribadi diketahui oleh bank) |
Nilai fluktuatif tergantung pasar | Nilai sama atau berpatokan dengan mata uang resmi |
Menggunakan blockchain publik | Menggunakan digital ledger privat |
Terdesentralisasi atau keputusan dibuat berdasarkan konsensus | Tersentralisasi atau regulasi dan keputusan diatur oleh pemerintah |
Crypto dapat digunakan untuk tujuan yang bersifat spekulatif dan juga untuk pembayaran | CBDC hanya dapat digunakan untuk pembayaran dan transaksi moneter lainnya |
💡 Apa perbedaan CBDC dengan stablecoin? Stablecoin adalah digital aset yang nilainya dipatok sama dengan mata uang fiat untuk memfasilitasi investasi dan trading. Stablecoin diterbitkan oleh perusahaan privat dan menggunakan sistem atau mekanisme tertentu untuk memastikan nilainya tetap stabil. Sementara CBDC secara resmi diterbitkan oleh pemerintah atau bank sentral dan merupakan versi digital dari uang fiat yang beredar.
Saat ini ada sekitar 100 negara yang sedang mengeksplorasi CBDC. Menurut data dari IMF di atas, adopsi crypto lebih besar di negara-negara dengan penetrasi digital dan pengiriman uang yang lebih tinggi serta fundamental ekonomi makro yang lebih lemah — seperti inflasi yang tinggi.
Hal ini yang membuat institusi keuangan menyoroti pentingnya pelacakan aktivitas crypto dan meregulasinya dengan tepat. Sehingga kemudian, opsi untuk membuat mata uang digital yang terpusat dijajaki oleh beberapa negara. Berikut ini adalah negara-negara yang sudah maupun tengah mengembangkan CBDC.
Pada Oktober 2020, Bank Sentral Bahama menerbitkan Sand Dollar, yang merupakan CBDC dan versi digital dari dolar Bahama. Bahama merupakan salah satu pelopor dalam mendorong CBDC, melihatnya sebagai cara yang baik untuk menjangkau masyarakatnya yang tersebar di ratusan pulau yang membentuk negara kepulauan tersebut.
Mengutip CoinDesk, Bahama baru-baru ini mengonfirmasi bahwa warganya dapat menggunakan Sand Dollar untuk membayar pajak mereka. Dalam survei kebijakan ekonomi dan keuangan kawasan Karibia yang dirilis Mei 2022, IMF mencatat Sand Dollar hanya mewakili 0,1% dari keseluruhan mata uang yang beredar.
Bank Sentral Nigeria (CBN) secara resmi meluncurkan “eNaira”—mata uang digital bank sentral (CBDC)—pada 25 Oktober 2021. Ini adalah CBDC kedua yang sepenuhnya terbuka untuk umum setelah Bahama.
Untuk saat ini, eNaira hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki rekening bank, tetapi cakupannya diharapkan pada akhirnya akan meluas ke siapa saja yang memiliki ponsel meskipun mereka tidak memiliki rekening bank. Sekitar 38 juta orang (36% dari populasi orang dewasa) tidak memiliki rekening bank di Nigeria dan eNaira diharapkan dapat meningkatkan inklusi keuangan di negara tersebut.
Pada akhir tahun 2021, Tiongkok juga menerbitkan E-CNY atau Digital Yuan yang bertujuan untuk menjadi “uang digital” ritel dan didukung penuh oleh People’s Bank of China (PBoC). Dilatarbelakangi oleh meluasnya penggunaan Alipay dan WeChatPay, yang menghubungkan rekening bank ke dompet digital, masyarakat di Tiongkok sudah hampir tidak menggunakan uang tunai dan banyak tempat tidak lagi menerima uang kertas dan koin.
Bank Indonesia sendiri juga tengah menjajaki pengembangan CBDC. Dikutip dari Kompas.com, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doni Primanto Joewono mengatakan, akhir tahun ini BI akan mengeluarkan kajian yang berisikan rencana atau konsep mata uang digital bank sentral, juga rupiah digital.
Mengutip rilis yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, eksplorasi CBDC memiliki enam tujuan utama, yaitu:
Sebelumnya, IMF juga telah menyarankan Indonesia untuk menggunakan CBDC ritel, yang dilatarbelakangi oleh tingginya transaksi dengan uang tunai di Indonesia. Sementara itu, data dari Katadata menunjukkan bahwa hingga 2021, transaksi uang elektronik Indonesia diketahui tumbuh sekitar 49% mencapai Rp 305,4 triliun.
Dari sisi moneter, adanya uang digital dapat mendukung stabilitas sistem keuangan, termasuk pengurangan lalu lintas uang untuk kejahatan, misalnya money laundrying dan pendanaan terorisme. Dari sisi fiskal beberapa manfaatnya antara lain perluasan basis pembayar pajak dan kemudahan dalam penyaluran dana bantuan pemerintah.
Dalam kasus Indonesia, uang digital juga diharapkan dapat meningkatkan inklusi keuangan. Dengan basis 60% penduduk Indonesia yang telah terhubung dengan internet, keberadaan CBDC dapat memperluas akses ke fasilitas keuangan.
Secara umum, berikut adalah manfaat dan kelebihan CBDC:
Meski memiliki berbagai kelebihan termasuk mendorong peningkatan inklusi keuangan, CBDC juga membawa berbagai risiko. Antara lain:
Bagikan