NFT merupakan salah satu tren baru yang berhasil menarik ribuan orang ke dalam industrinya. Mulai dari NFT berisi avatar lucu berbentuk kucing dan monyet hingga karya seni artistik yang bernilai jutaan dolar. Kolektor dari NFT-NFT ini pun beragam, bahkan artis-artis besar seperti Beyonce, Michael Jordan, dan Eminem memiliki NFT masing-masing dan juga mengoleksi NFT. Dengan sorotan publik yang begitu besar, industri NFT pun mulai dikritik oleh banyak pihak. Salah satu kritik paling keras tentang NFT adalah dampak lingkungan yang negatif dari NFT. Emisi gas karbon yang dihasilkan dari transaksi NFT membuatnya dikecam oleh banyak orang. Lalu, apa saja pro kontra tentang NFT? Apakah benar lingkungan telah terpengaruh dampak buruk NFT? Artikel ini akan membahas berbagai dampak lingkungan NFT.
Non-fungible token atau NFT adalah sebuah aset digital yang tidak bisa diganti atau ditukarkan. Semua informasi tentang sebuah NFT disimpan dan diamankan menggunakan teknologi blockchain sehingga ia tidak bisa dimanipulasi atau pun diubah. Maka dari itu, setiap produk NFT bersifat unik karena identitas dan kode masing-masing NFT hanya ada satu.
Beberapa koleksi NFT terjual dengan harga yang mencapai jutaan dolar contohnya karya-karya Beeple, animasi Nyan Cat, koleksi BAYC, dan Cryptopunks. Meskipun begitu, banyak pihak mengkritik industri NFT karena berbagai hal dan salah satunya tentang dampak lingkungan yang dibawa NFT. Terdapat debat besar tentang pro kontra NFT. Kritik ini adalah salah satu kritik paling keras terhadap NFT dan memiliki argumen yang valid. Industri kripto menggunakan listrik yang sangat besar, bahkan beberapa pihak membandingkan operasionalisasi industri kripto setara dengan negara seperti Belanda dan Swedia.
Industri NFT sering dikritik karena kebanyakan proses transaksi NFT menggunakan jaringan Ethereum yang, seperti Bitcoin, menggunakan arsitektur proof-of-work sehingga menggunakan daya energi yang jauh lebih besar dibanding aset kripto lain. Setiap transaksi NFT membutuhkan daya listrik besar yang juga meninggalkan emisi karbon CO2 apabila listrik yang digunakan tidak memanfaatkan energi terbarukan.
Baca juga: Apa itu jaringan Ethereum?
Penghitungan pasti dari penggunaan jaringan Ethereum dan industri NFT sulit dilakukan karena sumber penelitian dan informasi tentangnya sulit didapatkan. Selain karena daya listrik yang digunakan bersifat fluktuatif tergantung kepadatan jaringan, banyak penambang Ethereum bersifat anonim. Maka dari itu, penghitungan terhadap penggunaan daya listrik ini bisa kita kategorikan sebagai prediksi atau perkiraan di mana angkanya bisa lebih tinggi atau pun lebih rendah.
Salah satu orang yang meneliti tentang penggunaan daya listrik jaringan Ethereum adalah Kyle Mcdonald yang menerbitkan jurnal ilmiah tentang ini. Ia menjelaskan bahwa saat ini (Desember 2021) Ethereum menggunakan 2,3 GigaWatt listrik yang apabila dihitung per tahun menjadi 23 jam terawatt (TerraWatt hours/year).
Angka ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang besar apabila dibandingkan dengan Ekuador (26 TWh/tahun) atau negara bagian Massachusetts di AS (21 TWh/tahun). Ia juga bisa dilihat sebagai angka yang sangat kecil karena hanya 0.1% dari penggunaan listrik global. Namun, perbandingan paling dekat adalah dengan Facebook, media sosial tersentralisasi dengan penggunaa ratusan juta orang yang menggunakan listrik 7.2TWh/year pada tahun 2020.
Perbandingan penggunaan listrik Ethereum (23 TWH/tahun) dengan:
Terlepas dari pembandingan di atas, kita bisa setuju bahwa penggunaan daya listrik Ethereum sangatlah besar, terutama ketika kita melihat penggunaannya akan terus meningkat. Hal ini menjadi pusat perhatiand alam pusaran debat pro kontra NFT. Selain itu, emisi gas karbon dari daya listrik yang digunakan juga penting dibahas, terutama apabila sumber listrik tersebut berasal dari energi tidak berkelanjutan.
Kyle Mcdonald juga meneliti emisi gas Karbon CO2 yang dihasilkan oleh operasionalisasi jaringan Ethereum. Garis hitam pada gambar di atas merupakan rata-rata penggunaan emisi Karbon yang dihasilkan yaitu 7 MtCO2/tahun (Megaton) dengan variasi ke atas dan ke bawah pada waktu-waktu tertentu. Apabila dihitung menjadi per hari, angkanya menjadi 20 ktCO2/hari (Kiloton). Angka ini setara dengan Costa Rica (9 MtCO2/year), emisi per tahun 500 ribu orang di AS, atau setara dengan 2-3 pembangkit listrik batu bara (1 pembangkit listrik batubara menghasilkan 3 MtCO2 per tahun.
Dalam konteks NFT, perhitungan lain mengatakan bahwa rata-rata transaksi NFT menghasilkan emisi karbon sebanyak 100 kg CO2. Sementara itu, 200+ KgCO2 dibutuhkan untuk penjualan dengan beberapa tawaran dan 500+ KgCO2 untuk lebih banyak tawaran dan lebih banyak penjualan. Perlu diperhatikan bahwa penghitungan di atas bisa saja lebih rendah atau lebih tinggi dari kenyataan, karena ia hanya sebuah estimasi.
Kita bisa melihat bahwa jejak karbon NFT tidak bisa diabaikan karena sifat jaringan Ethereum yang akan menggunakan daya listrik lebih besar saat jaringannya semakin padat dan aktivitas meningkat. Debat tentang jejak karbon sering menjadi pembahasan utama dalam pro kontra nft.
Mayoritas koleksi NFT menggunakan jaringan Ethereum sebagai tempat penyimpanan kode dan data masing-masing NFT. Saat ini, blockchain Ethereum menggunakan teknologi proof-of-work (PoW) yang memberikan keamanan terbaik dalam sistem yang terdesentralisasi. Namun, jaringan ini membutuhkan daya listrik tinggi untuk memproses setiap transaksi. Kebutuhan daya listriknya juga membesar seiring dengan meningkatnya aktivitas jaringan. Teknologi PoW tidak memiliki skalabilitas yang baik terutama bagi Ethereum yang ingin menarik jutaan orang dan pengembang aplikasi kepada jaringannya.
💡 Tezos, sebuah blockchain dengan sistem PoS hanya menggunakan 0.00006 TWh, dibandingkan Ethereum dengan 23 TWh.
Satu hal yang sering diabaikan dalam debat pro kontra NFT adalah Ethereum berencana berpindah dari teknologi PoW dan mulai memanfaatkan proof-of-stake (PoS) yang lebih hemat energi. Perpindahan ini pada awalnya disebut sebagai ‘eth2.0’ tapi situs Ethereum sekarang menyebut pembaruan ini sebagai penambahan “consensus layer” untuk memungkinkan staking dan PoS.
Pembaruan ini akan membuat jaringan Ethereum setara dengan jaringan PoS lainnya yang lebih ramah lingkungan dan meninggalkan jejak karbon yang lebih rendah. Menurut riset yayasan Ethereum, perpindahan jaringan PoS akan membuat Ethereum 99,95% lebih ramah lingkungan dibanding sekarang. Maka dari itu, pembaruan jaringan Ethereum ini memiliki dampak masif terhadap industri NFT dan kripto secara umum untuk bergerak ke arah teknologi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Baca juga: Apa itu proof-of-stake?
Proof-of-stake adalah salah satu teknologi yang memungkinkan berbagai blockchain menjadi platform aset kripto yang ramah lingkungan tanpa mengorbankan keamanan dan desentralisasi (dalam beberapa kasus). Teknologi ini memungkinkan transaksi diproses dalam waktu cepat dengan biaya yang murah. Hal ini bisa terjadi karena teknologi PoS tidak memanfaatkan penambang yang harus berkompetisi menyelesaikan teka-teki kompleks untuk memproses transaksi. PoS menyederhanakan proses ini dan membuatnya ramah lingkungan. Kini, semakin banyak proyek kripto baru mengabaikan PoW dan memilih teknologi PoS. Proyek seperti Cosmos, Fantom, Solana, dan Terra menggunakan berbagai variasi dari sistem PoS untuk memungkinkan transaksi cepat dan murah.
Perkembangan teknologi lain yang menjanjikan adalah Layer 2 dan berbagai teknologi terkait dengannya. Starkware, perusahaan yang mengembangkan teknologi zero knowledge rollup bagi layer 2 Ethereum, berkata teknologinya dapat memproses jutaan transaksi NFT dalam satu blok. Adanya perusahaan seperti Starkware adalah tanda industri NFT dan kripto mulai bergerak ke arah efisiensi energi dan ramah lingkungan. Starkware mengembangkan teknologi ZK Rollup untuk mengurangi emisi karbon dan penggunaan listrik jaringan Ethereum yang akan berpengaruh besar terhadap industri NFT.
💡 Layer 2 adalah
Jaringan yang berfungsi untuk meningkatkan performa dan kapabilitas Layer 1 di bawahnya. Contoh: Polygon Matic dan Immutable X.
Hal terakhir yang dilakukan oleh komunitas kripto untuk bergerak menjadi industri yang ramah lingkungan adalah menggunakan energi terbarukan sebagai basis daya listrik dalam penambangan. Semakin banyak perusahaan penambang mulai menggunakan energi terbarukan agar pengoperasiannya bersifat berkelanjutan.
Penghitungan untuk menyebutkan persentase penggunaan energi terbarukan dalam industri penambangan kripto sulit dipastikan. Beberapa sumber menyebutkan 70% namun jurnal ini menyebutkan 39% penambangan kripto menggunakan energi terbarukan. Selain itu, El Salvador mendorong penambang kripto pindah ke negaranya dan menggunakan daya listrik bertenaga gunung berapi untuk operasi penambangannya.
Terlepas dari opini kamu tentang debat pro kontra NFT, apabila kamu tertarik dalam dunia NFT, terdapat banyak alternatif ramah lingkungan dan carbon neutral. Kamu bisa mulai mencari mencari marketplace NFT yang menggunakan jaringan PoS seperti Solana, Tezos, Fantom, Flow, dan Immutable X. Meskipun tidak memiliki koleksi sebesar OpenSea, beberapa marketplace NFT ini memiliki tampilan yang setara dengan OpenSea dengan biaya transaksi yang sangat murah.
Berikut beberapa marketplace NFT yang ramah lingkungan:
Sebelum kamu mulai membeli NFT pada berbagai marketplace NFT, kamu harus memiliki aset kripto yang sesuai dengan jaringan marketplace. Kamu bisa membeli ETH, SOL, dan berbagai aset kripto lain pada aplikasi Pintu. Melalui Pintu, kamu bisa membeli aset kripto dengan cara yang aman dan mudah.
Selain itu, aplikasi Pintu kompatibel dengan berbagai macam dompet digital populer seperti Metamask untuk memudahkan transaksi NFT-mu. Ayo download aplikasi cryptocurrency Pintu di Play Store dan App Store! Keamananmu terjamin karena Pintu diregulasi dan diawasi oleh Bappebti dan Kominfo.
Kamu juga bisa belajar crypto lebih lanjut melalui berbagai artikel Pintu Academy yang diperbarui setiap minggunya! Semua artikel Pintu Akademi dibuat untuk tujuan edukasi dan pengetahuan, bukan sebagai saran finansial.
Bagikan