Jakarta, Pintu News – Kejatuhan pasar crypto pada 10 Oktober 2025 lalu kembali mengguncang dunia keuangan digital. Dalam sehari, lebih dari Rp315 triliun ($19 miliar) posisi leverage Bitcoin (BTC) dan altcoin terlikuidasi, membuat pasar berada di mode panik.
Namun, sepanjang sejarah cryptocurrency, ada beberapa momen yang jauh lebih mengguncang — ketika Bitcoin kehilangan lebih dari 90% nilainya hanya dalam hitungan jam.
Dari insiden Mt. Gox tahun 2011 hingga kebangkrutan FTX di 2022, setiap krisis membawa pelajaran penting bagi investor crypto. Berikut 9 momen paling kelam dalam perjalanan Bitcoin yang membentuk wajah industri ini hingga hari ini!
Kejatuhan pertama dan paling ekstrem terjadi pada 2011 ketika Bitcoin anjlok 99,9% di bursa Mt. Gox akibat peretasan besar-besaran. Hacker mencuri sekitar 740.000 BTC milik pengguna dan 100.000 BTC dari perusahaan, lalu menjualnya hanya seharga Rp165 (satu sen dolar) per koin.
Karena Mt. Gox menguasai 90% volume perdagangan Bitcoin saat itu, efeknya sangat destruktif. Dalam sekejap, hampir seluruh nilai pasar crypto menguap. Jika dikonversi ke harga sekarang, 840.000 BTC yang hilang bernilai lebih dari Rp1,55 kuadriliun, setara gabungan aset perusahaan besar seperti MicroStrategy, MARA, dan Metaplanet.

Dua tahun kemudian, Mt. Gox kembali jadi sumber kekacauan. Serangan DDoS membuat perdagangan lumpuh, memicu aksi jual besar-besaran. Harga Bitcoin turun dari Rp4,39 juta ($265) ke Rp2,49 juta ($150) hanya dalam dua hari.
Serangan ini terjadi karena pelaku sengaja menunggu harga Bitcoin naik, lalu meluncurkan serangan untuk menciptakan kepanikan pasar. Begitu harga jatuh, mereka membeli kembali dengan harga murah — pola yang terus berulang selama beberapa hari dan menghasilkan keuntungan besar bagi peretas.
Pada akhir 2013, Bank Rakyat Tiongkok mengumumkan larangan bagi bank untuk berurusan dengan Bitcoin. Dalam waktu singkat, harga BTC yang semula menembus Rp19,9 juta ($1.200) jatuh 50% ke Rp9,9 juta ($600).
Baca juga: 5 Fakta Terpanas di Dunia Crypto Pekan Ini
Kebijakan ini menandai awal dari serangkaian larangan crypto di Tiongkok. Bahkan mantan Ketua The Fed, Alan Greenspan, menyebut Bitcoin sebagai “gelembung tanpa nilai intrinsik,” memperparah kepanikan di kalangan investor global.

Tiongkok kembali mengguncang pasar dengan melarang Initial Coin Offering (ICO). Awalnya, investor menganggap larangan ini hanya menyasar token, bukan Bitcoin. Namun, ketika laporan muncul bahwa bursa lokal seperti BTCC dan Huobi harus tutup, harga BTC anjlok dari Rp72,9 juta ($4.400) menjadi Rp54,7 juta ($3.300) hanya dalam dua hari.
Krisis ini mengakhiri dominasi Tiongkok di perdagangan crypto global, memindahkan pusat likuiditas ke Jepang dan Korea Selatan.
Ketika Bitcoin mendekati Rp331 juta ($20.000) untuk pertama kalinya, pasar terlalu panas. Peluncuran kontrak futures di CBOE dan CME memicu aksi jual besar-besaran. Dalam 24 jam, harga turun dari Rp273 juta ($16.500) ke Rp182 juta ($11.000) — penurunan 33%.
Beberapa bulan kemudian, laporan Federal Reserve San Francisco menyimpulkan bahwa kemunculan pasar futures menjadi penyebab utama jatuhnya harga karena memicu aksi spekulasi berlebihan.
Ketika WHO menetapkan pandemi global COVID-19, investor panik dan menjual aset berisiko, termasuk Bitcoin. Dalam sehari, harga BTC jatuh hampir 50%, dari Rp132 juta ($8.000) menjadi Rp80 juta ($4.850).
Baca juga: 3 Perilaku Baru Whale Bitcoin Pasca Market Crash di Oktober
Lebih dari Rp16 triliun posisi leverage dilikuidasi di bursa seperti Binance dan BitMEX. Meski begitu, crash ini membuka jalan bagi reli besar 2021, di mana Bitcoin mencetak rekor baru sepanjang masa.
Ketika Tesla berhenti menerima pembayaran dengan Bitcoin, pasar terguncang. Namun pukulan sebenarnya datang seminggu kemudian ketika Tiongkok melarang aktivitas penambangan Bitcoin. Dalam waktu 12 jam, harga BTC anjlok dari Rp712 juta ($43.000) ke Rp498 juta ($30.000).
Penambangan terhenti, hashrate jaringan turun tajam, dan sekitar Rp132 triliun posisi leverage dilikuidasi. Kejatuhan ini menandai puncak tekanan regulasi terhadap crypto di Asia.
Pasca kehancuran TerraUSD (UST), platform pinjaman crypto Celsius membekukan penarikan dan swap. Investor panik, dan Bitcoin jatuh dari Rp430 juta ($26.000) ke Rp364 juta ($22.000) dalam sehari.
Kejadian ini menimbulkan krisis kepercayaan di seluruh ekosistem crypto, karena Celsius pernah menjanjikan imbal hasil tinggi bagi penyimpan dana crypto mereka.

Ketika laporan keuangan FTX bocor dan menunjukkan kekurangan likuiditas besar, pasar langsung bereaksi. Dalam 24 jam, Bitcoin turun 17%, dari Rp339 juta ($20.500) ke Rp280 juta ($16.900), bahkan sempat menyentuh Rp258 juta ($15.600).
Beberapa hari kemudian, FTX resmi bangkrut, mengguncang pasar crypto global dan menandai salah satu krisis keuangan digital terbesar dalam sejarah.
Setiap kejatuhan Bitcoin (BTC) membawa pelajaran berharga tentang volatilitas dan ketahanan pasar crypto. Dari peretasan, larangan pemerintah, hingga krisis likuiditas, faktor-faktor ini menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem cryptocurrency muda ini. Namun, sejarah juga menunjukkan satu hal: setiap crash besar selalu diikuti oleh fase pemulihan dan inovasi baru.
Itu dia informasi terkini seputar crypto. Ikuti kami di Google News untuk mendapatkan berita crypto terkini seputar project crypto dan teknologi blockchain. Temukan juga panduan belajar crypto dari nol dengan pembahasan lengkap melalui Pintu Academy dan selalu up-to-date dengan pasar crypto terkini seperti harga bitcoin hari ini, harga coin xrp hari ini, dogecoin dan harga aset crypto lainnya lewat Pintu Market.
Nikmati pengalaman trading crypto yang mudah dan aman dengan mengunduh aplikasi kripto Pintu melalui Google Play Store maupun App Store sekarang juga. Dapatkan juga pengalaman web trading dengan berbagai tools trading canggih seperti pro charting, beragam jenis tipe order, hingga portfolio tracker hanya di Pintu Pro.
*Disclaimer
Konten ini bertujuan memperkaya informasi pembaca. Pintu mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar. Sebagai catatan, kinerja masa lalu aset tidak menentukan proyeksi kinerja yang akan datang. Aktivitas jual beli crypto memiliki risiko dan volatilitas tinggi, selalu lakukan riset mandiri dan gunakan uang dingin sebelum berinvestasi. Segala aktivitas jual beli bitcoin dan investasi aset crypto lainnya menjadi tanggung jawab pembaca.
Referensi:
© 2025 PT Pintu Kemana Saja. All Rights Reserved.
The trading of crypto assets is carried out by PT Pintu Kemana Saja, a licensed and regulated Digital Financial Asset Trader supervised by the Financial Services Authority (OJK), and a member of PT Central Finansial X (CFX) and PT Kliring Komoditi Indonesia (KKI). The trading of crypto asset futures contracts is carried out by PT Porto Komoditi Berjangka, a licensed and regulated Futures Broker supervised by BAPPEBTI, and a member of CFX and KKI. Crypto asset trading is a high-risk activity. PT Pintu Kemana Saja and PT Porto Komoditi Berjangka do not provide any investment and/or crypto asset product recommendations. Users are responsible for thoroughly understanding all aspects related to crypto asset trading (including associated risks) and the use of the application. All decisions related to crypto asset and/or crypto asset futures contract trading are made independently by the user.