Industri aset kripto dan teknologi blockchain kini memasuki tahun ke-14 sejak Satoshi menciptakan Bitcoin pada tahun 2009. Meskipun menunjukkan banyak inovasi dan potensi, adopsi massal aset kripto masih belum tercapai dan terkendala oleh berbagai faktor. Lalu, bagaimana cara mendorong terjadinya adopsi kripto yang masif? Apa tantangan yang harus dihadapi sebelum terjadi adopsi aset kripto? Artikel ini membahas dinamika adopsi aset kripto, tantangan yang dihadapi, serta apa yang diperlukan untuk mencapai adopsi massal.
Seorang profesor ternama dalam teknologi dan pembangunan sosio-ekonomi, Carlota Perez, menjelaskan bahwa adopsi teknologi terjadi dalam beberapa “gelombang” yang terdiri dari siklus boom and bust atau kenaikan dan juga penurunan. Pendapat profesor Perez ini jelas terlihat dalam pertumbuhan internet, dengan adanya dot com crash pada 2001. Pada saat itu, semua orang dengan cepat berpendapat bahwa internet sudah mati. 20 tahun kemudian, kita hidup di era di mana hampir semua hal terhubung kepada internet, termasuk uang.
Profesor Perez juga menjelaskan bahwa gelombang adopsi teknologi ini kurang lebih terjadi setiap 20 tahun. Seperti pada gambar di atas, terdapat periode adopsi tahap awal dan tahap kedua. Selain itu, terdapat periode transisi yang menandakan perpindahan dari tahap awal menuju adopsi massal oleh publik.
Teknologi aset kripto pertama kali dibuat pada tahun 2009 dan sekarang sedang memasuki tahun ke-14. Dalam periode waktu 14 tahun, industri kripto banyak melahirkan inovasi baru seperti sektor DeFi yang melahirkan sistem finansial baru dan sektor NFT dengan ekosistem seniman digitalnya. Menurut riset TripleA, kepemilikan aset kripto di seluruh dunia saat ini sekitar 4,2% atau lebih dari 420 juta orang.
Namun, hingga saat ini adopsi aset kripto terjadi dalam beberapa klaster terpisah dan membentuk pasarnya sendiri. Menurut Perez, ini merupakan hal yang wajar dan menandakan aset kripto sedang dalam periode instalasi.
Banyak klaster adopsi aset kripto terbentuk di berbagai belahan dunia dengan kegunaan yang berbeda-beda. Contohnya, kita bisa melihat kegunaan aset kripto sebagai aset untuk mengirimkan remitansi di negara seperti Mesir, Filipina, Meksiko, dan Nigeria.
Di Indonesia, adopsi aset kripto sudah terlihat berada di tahap instalasi dengan adanya regulasi pemerintah yang sangat mendukung pertumbuhan industri. Kejelasan peraturan ini mendukung industri dengan 17,5 juta pengguna yang setiap tahunnya menunjukkan pertumbuhan yang cukup konsisten. Saat ini, adopsi aset kripto di Indonesia masih terbatas pada sektor aset investasi, NFT, dan DeFi.
“Web3 itu membuka jalan untuk orang-orang Indonesia, contohnya pengembang atau pengusaha Indonesia bisa membangun produk yang skalanya global,”
Jeth Soetoyo, CEO Pintu.
Baca juga: Menggali Potensi Besar Industri Aset Kripto dan Web3 Indonesia.
Banyaknya klaster adopsi aset kripto di seluruh dunia memperkuat perspektif aset kripto sebagai sebuah aset global. Berbagai sektor baru muncul dari industri kripto dalam beberapa tahun terakhir dan tim pengembang terus mencari cara memunculkan inovasi baru dari industri ini.
Secara teori, kita bisa berkaca kepada internet untuk melihat apa yang dibutuhkan oleh industri aset kripto agar bisa mencapai adopsi massal. Era adopsi massal internet bisa terjadi karena adanya beberapa aplikasi yang digunakan secara masif dan menciptakan sektornya sendiri. Aplikasi-aplikasi seperti Google, Amazon, Facebook, dan Youtube memiliki ratusan juta pengguna dan memberikan efek bola salju, menarik lebih banyak lagi pengguna.
Sampai saat ini, industri aset kripto belum memiliki aplikasi Amazon, Facebook, atau Youtube versi Web3. Belum ada aplikasi berbasis aset kripto yang bisa menarik jutaan orang untuk mencobanya.
Pada bull market 2021, potensi ini sepertinya dimiliki Axie Infinity, Sandbox, dan Stepn. Namun, setahun kemudian ketiga aplikasi tersebut kehilangan lebih dari 80% penggunanya dan ternyata hanya tren sesaat. Aplikasi-aplikasi tersebut memiliki model yang tidak berkelanjutan sehingga terdampak besar oleh bear market.
Jadi, pada dasarnya pasar aset kripto membutuhkan sekelompok “killer apps” untuk menarik pengguna baru yang tidak mengerti kripto. Aplikasi seperti ini bisa saja muncul dari sektor lama seperti DeFi atau pun dari yang baru seperti media sosial terdesentralisasi. Sektor DeFi juga berpotensi menarik jutaan pengguna baru, terutama jika proses menggunakannya dipermudah. Selain itu, dompet digital yang bisa secara instan tersambung ke banyak aplikasi dan blockchain juga memiliki potensi yang sangat besar.
Saat ini, aset kripto menghadapi banyak tantangan sebelum bisa mencapai adopsi massal. Seperti pada poster majalah New York Times di atas, tantangan terhadap adopsi ini merupakan hal yang wajar. Poster New York Times tersebut dipublikasikan saat Dot-Com Bust di tahun 2001. Seperti yang kita tahu, era internet justru semakin berkembang pesat pasca 2001. Industri aset kripto juga sedang melewati fase yang sama. Kita akan berfokus pada tiga tantangan utama adopsi aset kripto yaitu edukasi, regulasi, dan aksesibilitas.
Tantangan terbesar adopsi aset kripto di berbagai belahan dunia adalah edukasi. Teknologi blockchain dan aset kripto yang cukup baru dan kompleks membuatnya sulit dipahami, terutama bagi orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu komputer. Layaknya era awal internet, pengguna aset kripto perlu memahami berbagai jargon dan istilah teknis tentang blockchain. Aspek edukasi ini terutama sangat penting untuk menghindari peretasan dan penipuan yang marak terjadi di industri.
Masalah kedua yang sedang banyak diperbincangkan adalah tentang regulasi aset kripto dan blockchain. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, regulasi tentang aset kripto belum jelas dan sikap pemangku kebijakan terhadap industri kripto sangat negatif. AS merupakan salah satu negara yang memiliki pandangan negatif terhadap aset kripto dan sering kali mengambil tindakan keras terhadap pemain di industri.
Di sisi lain, Indonesia, Jepang, Vietnam, dan Thailand merupakan beberapa negara yang memiliki perspektif positif terhadap industri kripto. Negara-negara ini sudah memiliki payung hukum yang jelas bagi pelaku usaha dan investor retail aset kripto. Regulasi positif seperti ini membawa industri aset kripto satu langkah lebih dekat menuju adopsi teknologi kripto yang lebih luas.
“Negara nomor satu di dunia untuk adopsi kripto adalah Vietnam, nomor dua Filipina, dan Indonesia nomor 20. Di bagian dunia ini (Asia), baik dari sisi regulasi maupun akar rumput, akan menjadi pelopor adopsi kripto.”
Diederik van Wersch, Direktur Penjualan Mid-Market International Chainalysis.
Tantangan adopsi aset kripto yang terakhir adalah tentang aksesibilitas dan kemudahan aplikasi aset kripto. Saat ini, akses terhadap aset kripto sebagai aset investasi cukup mudah. Namun, jika kita membicarakan tentang menggunakan aplikasi aset kripto, itu adalah hal lain.
Mayoritas aplikasi terdesentralisasi (DApps) sangat sulit digunakan dan bahasa dari tampilan antarmukanya sangat teknis. Jika kamu seseorang yang baru mulai memakai aplikasi kripto, kamu pasti kesulitan.
Proses melakukan transaksi swap di aplikasi DeFi seperti UniSwap tidak selesai dalam satu kali klik. Biasanya, kamu harus menghubungkan dompet ke UniSwap, lalu memberikan persetujuan, memberikan akses terhadap aset milikmu, menyetujui harga gas transaksi, dan terakhir menyetujui pertukaran aset. Satu transaksi DEX biasanya membutuhkan 3-5 kali proses persetujuan di dompet digital. Ini membuat menggunakan aplikasi aset kripto sangat rumit dan tidak ramah pengguna baru.
Layaknya situasi saat ini, masa depan adopsi aset kripto akan seluas potensi kegunaannya. Adopsi massal aset kripto kemungkinan bisa terjadi secara bersamaan di belahan dunia berbeda dan dengan kegunaan yang berbeda.
Di Amerika Latin dan Tengah, aset kripto mungkin akan lebih cepat diadopsi sebagai sebuah mata uang untuk menghindari inflasi dan pengiriman remitansi. Sementara itu, di negara-negara Afrika seperti Nigeria, adopsi aset kripto mungkin akan berhubungan dengan pembayaran lintas negara melalui stablecoin.
Adopsi aset kripto di Indonesia juga bisa bercabang ke berbagai sektor. Adopsi ini bisa saja berhubungan dengan sektor remitansi seperti di Amerika Latin karena pasarnya yang begitu besar namun belum dimanfaatkan (senilai $9,71 miliar dolar pada 2022). Sektor ekonomi kreatif digital Indonesia juga bisa menciptakan banyak seniman digital yang semakin memanfaatkan teknologi NFT dan aset kripto. Selain itu, tokenisasi aset fisik dan sektor DeFi yang mudah digunakan juga bisa membuka kesempatan masyarakat Indonesia untuk mengakses sistem finansial global.
“Saya sangat optimis karena saya yakin inovasi web3 memiliki potensi transformatif, termasuk di sektor pariwisata. Melalui teknologi blockchain kita dapat menumbuhkan kepercayaan dan keamanan transaksi antara turis dan penyedia layanan pariwisata, menciptakan pelayanan yang lebih inklusif dan transparan. Terlebih lagi, DeFi dapat memberdayakan komunitas lokal dengan memperluas akses keuangan dalam sektor web3,”
Muhammad Neil El Himam, Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementrian Pariwisata.
VP Mastercard, Harold Bosse, menjelaskan bahwa adopsi asset kripto terjadi saat teknologi blockchain dan aset kripto menjadi infrastruktur yang digunakan sehari-hari. Dalam konteks ini, Bosse menjelaskan bahwa masyarakat akan menggunakan blockchain dan aset kripto tanpa menyadarinya dan tanpa perlu mengerti teknologinya. Situasi ini mirip dengan apa yang terjadi dengan internet, di mana kita tidak perlu memahami cara kerja teknologinya untuk menggunakannya.
Masa depan adopsi massal aset kripto akan terjadi saat proses rumit yang kita harus lewati sekarang berubah menjadi sederhana. Sebuah transaksi yang saat ini membutuhkan empat proses persetujuan menjadi bisa diselesaikan hanya dengan satu klik. Industri aset kripto pasti akan mencapai tahap adopsi besar-besaran, terutama dengan adanya banyak teknologi yang sedang dikembangkan seperti account abstraction. Pertanyaannya adalah kapan dan seberapa cepat kita bisa sampai ke tahap tersebut.
Profesor Carlota Perez merinci tahapan adopsi teknologi yang terjadi dalam dua tahap yaitu tahap instalasi dan penyebaran. Teori ini menjelaskan bahwa adopsi teknologi bergerak dalam gelombang yang meliputi kenaikan dan penurunan atau siklus boom and bust. Industri aset kripto sendiri, yang saat ini berada di tahun ke-14 sejak diciptakan, menunjukkan perkembangan signifikan meskipun belum mencapai tahap adopsi besar-besaran. Kendala utama menuju adopsi massal meliputi kurangnya edukasi, regulasi yang belum konsisten, serta aksesibilitas dan kemudahan penggunaan aplikasi kripto. Meski menghadapi tantangan, adopsi aset kripto memiliki potensi besar di masa depan, dengan peluang untuk mempengaruhi berbagai sektor dan geografi.
Kamu bisa mulai berinvestasi pada berbagai macam aset kripto di aplikasi Pintu. Berikut cara membeli crypto pada aplikasi Pintu:
Kamu bisa berinvestasi pada aset crypto seperti BTC, ARB, ETH, dan yang lainnya tanpa harus khawatir adanya penipuan melalui Pintu. Selain itu, semua aset crypto yang ada di Pintu sudah melewati proses penilaian yang ketat dan mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Aplikasi Pintu kompatibel dengan berbagai macam dompet digital populer seperti Metamask untuk memudahkan transaksimu. Ayo download aplikasi cryptocurrency Pintu di Play Store dan App Store! Keamananmu terjamin karena Pintu diregulasi dan diawasi oleh Bappebti dan Kominfo.
Selain melakukan transaksi, di aplikasi Pintu, kamu juga bisa belajar crypto lebih lanjut melalui berbagai artikel Pintu Academy yang diperbarui setiap minggunya! Semua artikel Pintu Akademi dibuat untuk tujuan edukasi dan pengetahuan, bukan sebagai saran finansial.
Bagikan